Sabtu, 06 Oktober 2012

perempuan yang kusebut dalam doa



seperti hari yang merindukan hujan
sepanjang musim yang terlahir dari matamu

aisyah, kau tahu
minggu kemarin tanggal satu
pelangi kembali menghamili tubuhku
bercecabang ke rumah laut
tempat jumpa kita di taman sare kala itu
mengembalikan masa purba
mengemas bulan ke dalam celana

mungkin kau lupa aisyah.
berapa dalam waktu merapal sendiri
memadamkan bara nafsu
yang kau tuang dalam gelas teh semalam,
lampulampu kota tua padam
rembulan tertidur di bibirmu
semakin larut dan bercahaya

: aku, dan mungkin juga kau aisyah,
perempuan yang kusebut dalam doa
mengeram di mataku
berlarian memanjangi halaqah malam
meruqyah huruf demi huruf namaku
dalam sembilan putaran tasbih cinta
sebagai judul, ketika senja jatuh cinta
pada kering januari

; sampai kecupan musim
berlarut melumpuhi semua luruh
yang kutimang sebelum pernikahan
kembar namamu di balada doa yang
suci, menyambut tilawah deras tulusku
memadu rindu di cela tengadah tanganku
sambil melamar kelenjar senja
untuk kita sebut yang terakhir dari
sebuah kisah klasik memanggil kuncup cinta
disetiap pintu muara melahirkan batang kejora

perempuan yang kusebut dalam doa
menangislah, sebagaimana kau menangisi
kepergianku, atau seutas doa yang terlebur
menanti ajal matahari
sedangkan aku hanya malaikat penyampai
sendu rindu yang tak pernah mati sebelum
nafasku terkubur di antara bibirmu yang delima




sumenep, 2011




kepada bung tomo


dari kampung blauran kota tua
kau terlahir memenggal sejarah
darahmu merah memadamkan senjata
seribu pulau tanah jawa
kau asah jadi bambu runcing
saat kau mulai menyebut
kata merdeka

keringatmu, laut batu kanvas
melukis doa dari denting peluru
yang tak kau takuti muasalnya
dari mata musuh atau senja
di batas kota pahlawan jasa tanpa

bukan lagi tentang namamu
tapi pengorbananmu, bahteta
aroma air mata yang
terus keluar dari suaramu yang
lantang
tak henti ku tafakkurkan di tubuh
bumi pertiwi

kepadamu wahai pahlawanku
tak terbatas hanya ingin memeluk
namun hasrat begitu kental di dada
saat kerinduanku tentang
sebuah putih perjuangan
yang kau suburkan kala itu

hingga kini, riwayatmu
tak mati di makan zaman
di tumbang gelombang
di kafani lautan dan seribu tiupan
badai

dari kampung blauran kota tua
kurangkai nadzam cinta
dari jejak perjuanganmu
yang ku alifkan dari sabang
sampai merauke

sungguh.
rindu.
teduhmu.





bekasi-madura-jakarta-surabaya 2012




pernikahan aeng tase'*


seperti yang pernah aku tahu
dari timur ujung asin rambutmu
sehelai demi helai ku basuh jadi batu

aeng tase' yang mulai layu
anyar jadi kemenyan waktu
gemulai di atas jukong kayu
akar matahari minggu lalu
memudar ke arah pepandan biru
dan pohon santigi yang menjulang
di atas rumbia pepasir
seperti tak mau berhenti dimadu kepiting
dan kumang yang selalu jatuh cinta
pada ruas senja

tak lagi mimpi itu datang
perempuan berkacamata dan
seikat kalung mata elang
ku kirim lewat hujan
tumbuh di ladang ikan pindang
berwajah garam sewangi tembakau
akar pinang nira berkembang
di tanah siwalan

angin barat begitu berarti
sebatang jala mengambang palsu
mencari sedekah angin talak ikan
saban hari subuh jelang
kala kokok ayam sang pejantan
mengibarkan bendera mata terpejam

songkem tolang° di dasar air mata
begitu kental di pekarangan talangan
tempat restu di pulangkan
sejauh arau lahiri ombak dan kekarang

pernikahan aeng tase'
ku balut dalam tarian daun dadak
yang ramai dengan fateha musim

; judul nemor® yang memujur,
tak henti ku sulang
dari ayat tubuh ini
hingga cahaya adalah yang ku nikahi
untuk pertemuan dan perpisahan
yang terlampir di atas perjanjian kita


sungguh.
rindu




madura, 2006


* air laut/pantai
° sujud tulang / sungkem tulang
® kemarau



opera air mata ibu


karena diantara air mata yang
paling suci
hanyalah airmata ibu
yang aku kidungkan dalam tadarus doa





sumenep, 2009



sebait purnama tanah madura


: tanah garam

tanahtanah dengan seribu warna purba
sebagian telah pulang entah.
begitulah cerita dulu dan masa

hingga pagi
tak lagi berarak dengan lembut embun
hingga malam tak lagi
ada wangi tembakau.
pergi mencari petang antara batas kota
yang mencekam
dan stasiun tugu kota tua

sebait purnama hinggap di peraduan musim
sepasang perkutut berbaris menelan
batas orangorang
dengan are' dan landhu' di tangan
menggenggam sepiring harapan
esok garam dan tembakau
bercahaya dalam doanya

: tanah siwalan

tanah basah
campuran keringat dan air mata

sering datang dan kembali
iringan nyanyian siwalan tanah merdeka
saat purnama enggan tiba
atau wangi nira telah matang jadi gula

doa telanjang di mata malam
dzikir mengalir di dermaga
saat pajangan adalah beta
lautmu darah
lautmu air mata

sebait purnama tanah madura
tahukah engkau tuhan
; asin garam
wangi tembakau
dzikir daun siwalan

mati suri dalam doa





madura,2008



pada gelombang


: nelayan di madura


sungguh ini adalah ucap syukur
saat pertaruhan nafas
adalah kiblatku memulung keringat

o, tuhan
katamu dalam taburan jala
saat gelombang adalah sahabat
saat badai bukan lagi kematian
dan ikanikan tetap pada riwayatmu
: menceritakan semua keluh
membuka pintupintu ombak
merakaatkan samudera
pada tubuhmu hingga bau permata

hanya pada gelombang
katamu dalam perjalanan menuju arungan
belasan alifNya kau asah di ujung muara
tempat kita berkisah
saat ikan teri dan kandibasmu tertimbang
menukar senyum istimewa

belum saatnya
esok lagi kau masih menyetubuhi kekarang
menelan sembahyang angin
yang kau timang jadi arang


doadoa kau tabur
saat anak-istrimu menunggu
bukan lagi tentang selembar rupiah yang mereka tunggu namun,
selamatmu adalah kado terindah yang mereka tunu jadi debu.
menjadi perihal
sekuntum bibirmu masih mau beradu
dalam hitungan kata
dan dzikir saat gerhana tanggal satu
bulan lalu

kau lihat
tanah dan pasir yang putih
sempat kau panggil rumah berpulang
di tetes waktu di ambang batu

; jangan ragu nelayanku

pergilah dengan bulat
pulangkah dengan bulat
jika gelombang masih jahat
sebut nama tuhanmu
jika badai masih hianat
tengadahkan tanganmu dengan
basmalah yang tertulis di wajah hujan

pada gelombang
hanya pada gelombang
judul tetes keringarmu menjadi lafadz
yang di istirahkan ikan pada pesisir
tempat masa kecil dulu
kumang bermain petak umpet dengan tubuhmu

sampai disini
semoga kau tahu
aku mencintaimu sepanjang masa
mengenangmu sepanjang usia





bekasi, 2012




cahaya dari kereta matamu


: A.mustofa bisri


bukan cahaya
kalau gunna di halanan puisimu
tak kunjung terbit melepas ruh

kidungkidung nyanyianmu
mulai terulur di kertaskertas basah
sebeludru awan tetap pada setia angin
menyubuh sebelum sekuntum pagi
benarbenar jatuh cinta pada fajar

bukanlah cahaya
bila tak kusebut kau dalam bait puisiku
jumpalitan di dinding kulitku,
kulihat bajumu terbuat dari sutra
entah bagaimana ?
kau lahir dari kata
dibesarkan syair
dicumbui retas malam

bukanlah cahaya
bila puisimu terlalu sulit kulupa
gerimisnya ke rahim kereta
antara jakarta ke rembang
berkarat ke tepian kota
tempat anakanak menangisi tubuh ibunya yang sekarat di tembak peluru para serdadu

bukanlah cahaya
bila dari januari
kau tumbuhkan bunga

kau tumpahkan aksara
memajaskan sujud tetanahmu

kau berkata
" singkirkan saja
sajadah mahalmu
ratakan keningmu "

ke tanah tempat ibu bapakmu lahir
dan tempat kau akan kembali ke muasal

bukanlah cahaya
bila sebiji puisimu
tak sampai surga
atau laut tanah jawa

aku
lalu berfikir
kaulah cahaya itu
waktu bersama di antara
bismillahmu menebas kuasa




bekasu, 2012
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar